Purnomo Setiawan

Waktu kau pulang
Senja menunggumu di tengah ranjang
Rambutnya yang pirang
Matanya yang nyalang
Membuatmu ingin segera meradang menerjang
Walau kau bukanlah binatang jalang

Tetapi senja terlalu sayang kalau hanya dipandang
Sebisa mungkin kau ingin menghirupnya sampai kenyang

Duaempat 01 04

Di sebuah sudut mushola, senja melepas baju dinasnya. Digelarnya sajadah, dititipkan warna dan luka pada siluet pohon-pohon kelapa. Januari pasti datang, mengguyur do’a di ladang-ladang. Hujan sejenak numpang mandi, lalu bergegas menemani santri-santri mengaji. Selembar sarung, sebut saja: sepenggal kenangan, berkibar-kibar di malam purnama yang bercadar. Di bawahnya, seorang penyair: tempat duka dan lara mandi dan bersemedi, tenggelam dalam seember kopi merayu kata-kata yang ngambek minta cerai.
tak ada mimpi malam ini. samudra malam diarungi dengan berlembar-lembar simphoni ayat-ayat suci.

Hai penyair, masihkah tasbih itu selalu berputar teratur di tanganmu?
Ataukah sudah jadi pajangan pelengkap seragammu?
Masih suka mendengarkan dzikir-dzikir jangkrik
Tawa pecah menabrak dinding-dinding bilik
Sambil menunggu gurihnya lauk dan matangnya sayur
teman kita di waktu sahur

Dualapan 0805

Purnomo Setiawan

Tubuhnya kurus kering
rusuknya piano yang kalau malam selalu berdenting
tapi seenaknya saja ia telanjang dada menghadap barat
bagaikan seorang juru selamat
yang bisa menghalau kiamat.

Sebenarnya bukan karena perkasa ia tak pakai baju
tapi nasib memaksanya untuk begitu
sudah tak ada baju lagi
yang bisa digadaikan untuk ditukar nasi

Ia hanya orang miskin
yang untuk makan tiga hari ke depan
rasanya tak mungkin.
Duaempat 01 04

Purnomo Setiawan

Sepotong senja dalam puisi
senja yang wajahnya merah bersemu ungu
potret sang maut yang tegas tapi pemalu
sepintas lalu,
lewat arak-arakan kata mengetuk jendela rumahku
lalu ngacir ketika kubuka
sambil tertawa-tawa dan :
ketipu! Kacian deh lu…

Sepotong senja dalam puisi.
puisi yang kutilis sendiri
dari dalam lemari
ingin hati melanjutkannya
apa daya
senja lebih dulu terpejam
meninggalkan lanskap lagit yang kelam
bersambung…
Duaempat 01 04

Purnomo Setiawan

Ia merasa sendiri
di tempat yang ramai ini
gemuruh lagu bintang kecil
malah membuatnya merasa terkucil
terpencil di sudut kelas yang kecil
ia juga ingin bertandang ke rumah bintang
mungkin di sana tempat kucingnya yang hilang.
Duaempat 01 04

Purnomo Setiawan

Tak pernah terpikirkan sebelumnya
Untuk benar-benar menggoreng senja
Dalam api cinta di kamar hotel di lantai duatiga
Sehingga senja jadi linglung
Yang seharusnya tenggelam
Eh, malah terbit lagi
Itulah hebatnya cinta
Malam dibuatnya penuh gairah dan keringat
Duaempat 01 04

Purnomo Setiawan

Sejak saat itu aku tak berani lagi
Menghidangkan malam bersama secangkir kopi
Karena malam bukanlah kopi
Pahitnya ‘tlah menjelma mimpimimpi
Yang selalu mengepungku dari balik kamar mandi
Duaempat 01 04

Purnomo Setiawan

Kenangan bisa saja hilang dimakan lupa
Tapi satu peristiwa yang tak bisa disentuh baik lupa
Maupun laju kereta masa
Adalah ketika senja menempelkan bibirbasahnya
pada tengkukmu yang jenjang
dan dalam telanjang kau merasa melayang-layang
sampai kakimu terantuk karang
kau jatuh bergelimpang
dan aku senang
habisnya hari sudah petang
kau kupanggil-panggil, tapi tak segera datang.
Duaempat 01 04

Purnomo Setiawan

Tidak ada gunanya saya pergi ke dokter
hanya akan menelurkan klaim bahwa saya terjangkit kangker,
amnesia atau apalah itu namanya
yang jelas hasil akhirnya
adalah kertas resep dengan barisan angkaangka
sepanjang sungai Arizona.

Ataupun kalau saya pergi ke seorang psikolog
rasanya malah membuat diri bertambah goblok
saya bukanlah skeptikus
apalagi politikus
saya tak pernah mengalami neuralgi
hanya tersihir oleh puisi
jangan pernah menyebut saya nervous
saya ini pengagum kue sus.

Yang saya butuhkan saat ini adalah
ranjang yang bisa tenang
tanpa gelombang
apalagi gendering perang.
Duaempat 01 04

Purnomo Setiawan

Di warung bakso. Katakata ternyata lebih suka chaos ketimbang saos. Akibatnya air liur yang sudah terbit terpaksa tenggelam dan terjepit. Pesta terlebih dahulu mati sebelum sempat berdiri. Dan puncak dari segalanya: katakata meninggalkanku sendiri mengunyah utopia.
Duatiga 01 04

Purnomo Setiawan

Kalaupun harus ke kamar mandi
bukan sekedar untuk buang penyakit
tetapi merenungi nasib, sampai dahi mengernyit.
Mengenang tikustikus yang bercericit
dalam rindu yang jatuh-bangkit-jatuh-bangkit

Kini aku jauh dari kamar mandi
di tempat yang aku sendiri tidak mengerti
apakah itu masa lalu, masa depan, atau masa kini.
Seingatku ini pesisir lautan waktu
tempat aku terdampar dulu
bersama runerune sajakku
yang pernah kutata satu persatu

Setelah sekian lama
katakata bersporadis ria
mengejekku yang tenggelam dalam badai stagnasi
hingga terpaksa aku pura-pura mati.
sampai suatu hari:
kulihat seorang muchacha menembak rembulan dengan senyumnya.
Duatiga 01 04

Purnomo Setiawan

Hujan ingkar janji
hujan tak jadi datang malam ini
menemaniku memetik katakata
sekitar ranjang, pasarbesar,
dan bar tua: tempat malam menambal hitamnya

ada tugas dadakan
menggerus airmata di sekitar ranah pekuburan

hujan mencoba beralasan
duadua 01 04

Purnomo Setiawan

Di meja belajarku yang lama
ada seorang penjual celana
agak berbahaya, karena suka mengada-ada dan memakan celana
ia juga sangat sembarangan
bahkan terkesan serampangan
celana dipakainya di kepala
dan pahanya dibiarkan terbuka
membuat malam bersemu merah
dan bulan muntah di atasnya

Suatu hari ia pamit pergi
katanya baru dapat mangsa baru lagi
entah kenapa aku jadi teringat kamu
sang pemberani yang lugu lagi pemalu
hati-hati terhadapnya
jangan sampai memakai celana bolong tengahnya
duadua 01 04

Purnomo Setiawan

Di ‘tepi malam ranjang telah menjelma samudra yang memintanya untuk terus berenang. Berhenti berenang akan terpanggang. Ia terus berenang. Menningalkan waktu dan kenangan jauh di belakang. Melewati batas tapalsenja. Melewati batas alam sadarnya. Terdampar di pulau tanpa nama. Sampai dimana saya? Ia bertanya. Masih di ranjang sayang, sekerang bergegaslah hari sudah menetas. Ranjang menjawabnya mesra.
Satusatu 01 04

Purnomo Setiawan

Katakata sudah berbaris rapat, padat, ketat di sekeliling istana, mengelilingi sang puteri yang duduk tenang di atas ranjang. Di atas ranjang akulah sang ratu.jangan sekali-kali coba mengganggu.

Benar-benar tak ada celah untuk menyelinap. Mata katakata sangat tajam. Menembus hati paling dalam. KRAK. Dahan pijakanku patah. Sekompi katakata mengepungku sudah. Gantung dia, sang puteri memberi titah. Sebutkan permintaan terakhirmu, diajukannya pertanyaan. Saya tidak punya permintaan, hanya mau mengatakan: haruskah kubuka celanaku untuk membuktikan aku cinta kamu.

Rembulan beranjak menuruni tangga malam.
Sepotong celana berkibar di bianglala
Bukan bendera peperangan. Bukan lambang menyerah
Tapi lambang perdamaian
Nolapan 01 04

Purnomo Setiawan

Rutinitas pagi harinya adalah mengaca. Kalau sudah mengaca ia bisa berjam-jam lamanya. Mulai dari sekedar rapikan jenggot, menyisir bulu mata, tambal belang-bolong, sampai merenovasi topeng kalau sudah sangat dedel-duel. Kaca tak pernah berbohong, begitu selalu falsafahnya. Alangkah terkejutnya ia tatkala suatu pagi tak ditemukannya selembar bayangan dalam kaca. Seakan-akan keberadaannya tak diakui. Seakan-akan ia selembar plastik transparan, sehingga foto monyet di dinding di belakangnya kelihatan. Kamu kemanakan banyanganku, ia menghardik kaca. Sesaat ia tersadar, ia bukan lagi manusia. Mahluk tanpa bayangngan. Langsung saja ia teringan dongeng neneknya: setan itu tak punya bayangan… Hi, jadi ngeri…
Kaca tak pernah berbohong…
Noltujuh 01 04

Purnomo Setiawan

Sebenarnya celana perlu juga dibuatkan selamatan. Bukan selalu digeletakkan di bak cucian. Tapi di alatar agung dalam upacara sakral pensucian. Dimandikan dengan bunga setaman, sambil kita bakar-bakar kemenyan. Untuk apa? Bukan untuk buang sial ataupun kebal bacokkan. Biar celana ngaak tambah binal dan nakal. Juga kita bisa ngobrol sama celana dengan santai. Lepas dari belenggu birokrasi ataupun undang-undang kalau kita sedang ngantor atau dinas. Kita bias saling curhat. Kenapa celana semakin memusuhi pantat. Mengapa juga sampai minta naik pangkat. Meski kita harus akui. Tanpa celana kita belum disebut manusia.
Nolenam 01 04

Purnomo Setiawan

Titip salam buat bantalguling di rumah, sudah sampai di mana saja kembaranya. Buat kacamata di meja makan, berapa buku yang tertelan. Juga buat tikustikus di atap. Saya kangen dengan cericitnya. Kalau bisa paketkan dong. Buat menemani sang topeng kalau saya sedang sembahyang.
Nolima 01 04

Purnomo Setiawan

Di sebuah berita duka. Di himpitan iklan-iklan. Di suatu sudut Koran malam. Berdiri penggalan kalimat di atas puing puing paragraf yang telah cerai-berai dan koyak-moyak di kerikiti anjinganjing waktu.

…kutunggu kau di kamar mandi
Kutunggu bersama resah, gelisah, sedih dan dukamu…

Potongan kalimat berjalan ke arah barat. Melipat senja dan memasukkan kedalam sakunya. Sudah malam. Waktunya tidur.
Nolempat 01 04

Purnomo Setiawan

Seekor kalimat terjatuh dari pohon kelapa
Salam pramuka
Walau hanya sekelebat
Tak hanya mengeja darat
Tapi juga laut dan selat.
Noltiga 01 04

Purnomo Setiawan

Ma, kepalaku berat sekali
Sepertinya jutaan kata sedang antri bersemedi
Untuk terbit menjadi puisi
Tapi bukannya menjadi puisi
Katakata malah menjelma Yamadhipati
Sambil berteriak riang ia mengerang
Kena kau, mau kemana lagi hah…

Ma kepalaku berat sekali
Tujuh ekor matahari terbit bersamaan
Di malam hari, bayangkan…
Saat aku di kamar mandi
Tiba-tiba dihantam salah satunya
Tepat di kapala
Membuat kepalaku lepas landas mengudara
Tersangkut di awan gemawan
Tinggal tubuhku di alam nyata kehujanan dan kepanasan
Ma, kepalaku berat sekali
Bolehkah kalau ku minta seember kopi,
Bukannya Ibu yang datang
Malah bajingan sekamarku yang terbang
Menjitak kepalaku.
Tutup jendelanya, sudah malam tidur sana
Disambet maling rasain lu!
Tapi jelek-jelek gitu kan Cuma kamu
Yang mau nemenin aku mancing katakata
Noltiga 01 04

Purnomo Setiawan

Kau sudah resah-resah gelisah menungguku di balik pintu. Di atas jembatan di samping kali seorang perempuan duduk sendiri. Tertawa renyah sambil sesekali menengok kanan kiri, taku-takut ada tawanya yang terlepas dan hayut di kali.
Kau ular. Aku buaya. Tapi eksistensi kehadiranku lebih nyata. Kau hanya ingin mengambil hatinya, lalu mencampakkannya dalam kehampaan. Tapi aku sangat mencintainya, sampai-sampai ingin menelannya seutuhnya.
Saya memang egois. Sedang kau lebih iblis. Tapi lagi-lagi didahului malam. Dan perempuan itu lenyap ditelan kelam.
Noldua 01 04

Purnomo Setiawan

Malam sudah larut dalam botol bir. Ketika iringan katakata mabok berbaris satu persatu memasuki kepalamu. Awan tersibak, menelurkan purnama. Purnama yang pasrah memberikan senyumnya untuk kau petik.
Nolsatu 01 04

Purnomo Setiawan

Ia tanam telinga kirinya di lautan
dan telinga kanannya di padang pasir.
Nolsatu 01 04

Purnomo Setiawan

Januari datang tertatih-tatih, kulihat beberapa helai rambutnya putih. Jejak hujan masih membekas di bibirnya yang biru. Padahal hari sedang mendung. Tetapi ada saja orangorang yang membuat matahari dari daun pisang. Dan sebagian lagi menghangatkan kembang api yang semalam sempat ayem. DOR. Selamat tahun baru.
Musim sangat cadas. Hari semakin pedas. Semakin panas.
Nolsatu 01 04

Purnomo Setiawan

Sepotong celana terdampar di alun-alun sebuah kota. Pemiliknya seorang pemuda ngeloyor tanpa celana, mengambil kembara untuk membuktikan masih adakah yang namanya manusia, atau tinggal nama yang diukir di tepi pantai. Sampai sudah tiga abad melesat. Kini taman kota itu telah berubah menjadi Musium dunia. Dan celana itu masih teronggok di sana, didalam tabung kaca bertuliskan: “sisa-sisa peradaban manusia”
Duasembilan 12 03

Purnomo Setiawan

Beri saya setegak ingatan. Lalu biarkan saya mabuk dalam kenangan. Dan secangkir katakata yang kau tetesi air mata lebih manjur daripada sepasang sayap terluka. Menerbangkanku dalam cakrawala biru suratmu.
Duatujuh 12 04

Purnomo Setiawan

Karena ia bocah:
Tubuhnya biru bersama waktu
menatap dunia yang pelawak tapi nggak lucu
Bahkan mimpi pun menjadi sepotong celana
Di tali jemuran. Kedinginan. Kepanasan.
Tak ada harapan,
Selain mengikuti jalan yang katanya menuju kesuksesan
Dengan tubuh terkikat erat
Dan pada saat bersamaan
Menghadiahi kretivitas seperangkat tiang gantungan

Karena ia bocah:
Mereka tak pernah mengangapnya
Kecuali mesin penghisap debu yang selalu bertanya: mengapa?
Mereka ingin ia cepat dewasa
Menjadi generator yang mengebor daya dan dana
Menjadi manusia modern: cyborg seutuhnya

Karena ia bocah:
Potret telanjang alam semesta
Biru di bibirsenja
Duanam 12 03

Purnomo Setiawan

Malam sudah larut dalam botol bir. Ketika iringan katakata berbaris sempoyongan satu persatu mulai memasuki kepalamu.
Dualima 12 03

Purnomo Setiawan

Pulang ngantor enaknya langsung mandi. Mensucikan diri dari basa-basi, omong kosong dan polusi yang menyumbat kuping, kepala dan hati. Sampai di kamar mandi, ternyata sudah ada yang menunggu. Seorang perempuan dengan pisau di tangannya: berani macam-macam kusunat kau! Siapa engkau wahai perempuan biarkan aku mandi dalam diam dan tenang. Dasar anak nakal! Kerjanya main terus seharian, sini biar ibu iris telinga batumu!
Dualima 12 03

Purnomo Setiawan

Malam nanti kita kondangan di kuburan. Menikmati perjamuan. Merindukan airhujan. Kau pakai baju merah. Aku pakai baju putih. Kau sedang marah. Aku dirundung sedih. Tiba-tiba muncul orang berbaju biru: Aku sedang biru jangan diganggu!, katanya sambil mojok lalu membaca buku. Membaca aku dan kamu.
Duaempat 12 03

Purnomo Setiawan

Kakikaki hujan pagi tadi menghapus semuanya. Juga peta luka di sudut kota. Hanya tersisa bendera airmata berkibar ditiup matasenja.
Duaempat 12 03

Purnomo Setiawan

Rinduku terbang terbawa angin, di sungai waktu nyangkut di ranting beringin. Menanti petikan tanganmu yang dingin.
Duaempat 12 03

Purnomo Setiawan

Saya masih sering bingung kalau disuruh mengambil contoh orangorang yang betul-betul orang. Mereka pintar, itu betul. Alim, memang betul. Cerdas, juga betul. Pokoknya lolos sensor lah. tapi banyak juga diantara mereka yang cuma ke-betul-an. Sulit memang membedakan yang betul dan yang kebetulan. betul dan kebetulan, seperti sepasang tamu yang menjengukmu di malam hari. Yang satu datang dari kamar mandi. Yang satu lagi datang hanya dalam mimpi.
Duatiga 12 03

Purnomo Setiawan

Hari ini ulang tahunmu yang entah ke berapa, maka saya ucapkan: terimakasih puisi. Karena hanya kamu yang menarik selimut di pagi hari dan meyuruhku untuk bergegas mandi. Memaksa mataku untuk tetap terbuka dalam pelajaran yang semakin disimak semakin membuat sesak . Dan hanya kamu obat yang kuminum tiga kali sehari, dikala meriang mendekapku semalam suntuk sampai pagi.
Duatiga 12 03

Purnomo Setiawan

Entah sudah berapa abad yang berlari, sementara angkaangka berguguran dari almanak dipetiki hujan kemarin pagi.
Duatiga 12 03

Purnomo Setiawan

Lebaran hari ini saya jadi ke kota. Mencari ayah yang hilang tanpa ketemu rimbanya. Padahal ayah hanya membawa sepotong pakaian, uang untuk makan paling pol untuk tiga hari, dan tentu saja memba serta secuil hati saya sekeluarga. Ibu sudah rela melepas walau dengan lautan airmata yang membuat hati sedikit berembun.

Di tengah perjalanan pesan dan nasehat orang sekampung kembali menggelitiki telinga saya. Hati-hati di kota banyak serigala. Juga banyak ular, apalagi singa. Juga waspada terhadap kadal yang bisa menelanmu dalam sekejap mata. Hi, bikin takut saja. Memangnya kota itu rimba belantara, kok banyak binatang buasnya. Jadi saya anggap mereka salah. Terlalu ekstim malah. Terlalu mengada-ngada.

Sesampainya di stasiun kereta. Saya lihat normal-normal saja. Penduduknya punya satu kepala, matanya dua, hidungnya satu, mulutnya satu, pokoknya sama seperti saya. Bahkan mereka ramah-ramah. Baru datang saya sudah ditawari macam-macam. Dibantu mencari, tas saya dibawakan. Diajak mampir kerumahnya. Saya sih ikut saja. Untung tak jadi diraih, malang tak dapat di tolak. Duh gusti, ternyata betul kata orang tua. Bahkan keadaannya lebih parah. Srigalasrigala, ularular, kalajengking, dan musang itu telah mengejawantah menjadi manusia. Jadi susah membedakannya. Jadinya saya ditipu mentah-mentah, dimakan mentah-mentah, dikubur mentah-mentah. Saya jadi teringat ayah, apakah bernasib sama seperti saya? …
###
Lebaran hari ini saya jadi ke kota. Mencari ayah dan kakak saya yang hilang tanpa ketemu rimbanya…
Duatiga 12 03

Purnomo Setiawan

Sekali-sekali apa salahnya kita periksa kesehatan di bengkel kendaraan. Selain hidup lebih bervariasi, siapa tahu kita memang butuh reparasi. Bodi yang sudah reot untuk apa disuntik silikon, di-ketokmagic kan lumayan. Lebih murah. Hasilnya juga nggak kalah. Mungkin perlu juga kepala kita dipasangi kaca spion. Agar yang di belakang, nggak tertinggal dari pandang. Atau kita bisa ganti oli sambil sekalian cuci otak, karena otak bisa karatan, kalau sudah begitu bukan diri sendiri yang kewalahan, orang lain pun jadi korban. Jangankan ada tulang yang patah, hati yang pecahpun dilas dan masalah jadi bablas. Tapi hatihati kalau ada tangan yang bengkok jangan dipermak lagi, mendingan diamputasi karena bahayanya bisa sampai tiga kali.
Duatiga 12 03

Purnomo Setiawan

Ada kata, ada kalimat, ada hikayat
ada hati, punya nurani, ada puisi
ada cerita tanpa kata
Takmampu dirumuskan baik hati,
maupun sunyi
ada jerit, ada tangis, juga desah
dan masih banyak lagi
yang tak mampu disentuh katakata
permainan belum selesai
katakata masih kusut masai
menatap telenovela yang tak kunjung selesai
Duadua 12 03

Purnomo Setiawan

Purnomo Setiawan

Akhirnya Pengarang itu mati. Entah suri. Entah abadi. Setelah seharian memburu kata dari pedalaman hingga pucuk kota. Menambang di wajah rembulan, membuntuti matasenja, dan merumuskan gemericik hujan. Atau menyusuri loronglorong gelap paragraf dan alinea. Sambil sesekali menengok kamar mandi, siapa tahu ada kata yang tercecer, siapa tahu?, katakata kan datang tak mengenal waktu.

Sampai-sampai Pengarang itu tak menyadari, kalau sedari tadi ada tikus yang mengawasinya dari balik timbunan ensiklopedia. Dan dari cericitnya sepertinya hendak mengatakan: ck…ck…ck… Over Dosis oeuy!

Sementara pena di tangannya masih deras mengucurkan kalimatkalimat yang (katanya) bisa bikin orang terpikat, atau bahkan bikin orang sekarat dengan muka terlipat empat.

Duanol 12 03

Purnomo Setiawan

Di atas pasir di bawah desir kucoba mengukur nama-Mu dengan dzikir yang tinggal segelintir. Meki telah lama berakhir tetes darah yang terakhir. Dan waktu memang tak akan pernah berhenti bergulir. Sampai mentari mencair membuka tabir.

Dualapan 12 03

Saya kira hari ini akan mandi dua kali. Masih pagi-pagi sekali, bahkan matapagi belum cuci muka, mendung dengan gagahnya sudah mengangkangi bianglala. Eh, nggak tahunya cuma nampang muka, tanpa sempat menelorkan gerimis sudah keburu ngeloyor pergi. Meninggalkan mentari yang terbengongbengong seperti keselek bola pingpong.

Di tengah perjalanan menuju kantor mata saya hampir copot melihat mendung nangkring di atas pohon cemara. Mengguyur seorang kakekkakek, wajahnya milik senja, asyik main hujan-hujannan sambil jingkrak jingkrak seakan mengatakan: hidup itu jangan disia-siakan. Masa kecil mengintip dari balik pohon cemara, cekikikan sendiri. Melihat El-Maut dengan muka merah kembali ke angkasa.
Duatiga 12 03

Purnomo Setiawan

saat ini… waktu ini
sekarang ini
kami masih tertindas

memang … kami bodoh
atas taktik-politik-licik
yang tuan gunakan untuk mencekik
juga…kami goblok banget
untuk belajar ilmu tipu menipu muslihat
yang tuan jadikan bagi kami tali pengikat

sedang tuan ..!! tuan punya semuanya
dari bumi bersama isinya
hingga kekuasaan dan tetek bengeknya
dan hak kami … sebagai manusila
ketika hati kami bersuara, tuan berkata
ya…ya…ya…
dan beribu sampah yang disepuh permata

saat kami mulai bergerak
dan memberontak
tangan tuan menghentak
dan…
DORRR…!
kamipun luluh lantak…

20-07-02

Purnomo Setiawan

tiga hari sepekan
Pak Guru dan Bu Guru mengajar PPKN
tentang bab Ketakwaan
Kejujuran
Rela berkorban
Hemat cermat
Toleransi
Hormat menghormati
dan lain sebagainya

mulut mereka komat-kamit
menjejalkan bab demi bab ke otakku
hingga… teng teng!
pelajaran selesai
"ya… anak-anak semuanya mengerti?", beliau bertanya
"mengerti", ku jawab sekenanya

sepulang sekolah kulihat beberapa remaja
main gaplek sambil merendam "Ketakwaan"
dalam botol alkohol

sesampai di rumah kulihat ibu-ibu dan teman searisannya
pulang dari shopping, menggadaikan "Hemat cermat"
dengan barang-barang tak berguna, kosmetik, pakaian
yang banyak menumpuk di kamarnya
lalu…
ku lihat seorang anaknya datang
minta uang untuk bayar SPP dan beli buku pelajaran
padahal yang kutahu
uang-uang itu ia gunakan untuk beli TOGEL
nyewa VCD porno
dan menginjak-injak "Kejujuran" di mataku

selepas itu kunyalakan TV
melihat Dunia dalam Berita
sambil memperkaya wacana
tapi hanya ada berita
tentang peperangan di berbagai daerah
konflik suku, etnis dan agama
yang membombardir "Toleransi"
dan mengoyak "Hormat-menghormati"

ah….
ini yang belum ku mengerti
dari pelajaran PPKN

2003

Purnomo Setiawan

aku penyair bisu
meniti cakrawala tuhan, biru
mencari katakata yang hilang tak menentu
menjadi detik pada waktu

kucoba mencarinya di balik rembulan
mungkin ada beberapa kuntum resimpan
tak kutemukan
hanya ada sebongkah kematian

rembulan tertutup awan

kucari lagi pada bisikan bisikan pasir segara
pada kemolekan gunung-gunung dan panorama
juga pada wortel tomat senja kala
namun kujumpa
kebisuan menggerogoti masa

kucari kata, kata, kata …
tapi kudapat hampa, hampa, hampa, hamap ….
yang mewariskan luka, luka, luka, luka ….
lama !

salahkah hamba bila buta aksara ?

8 Sya'ban 2002

Purnomo Setiawan

aku benci diriku sendiri
diriku yang pengecut
diriku yang penakut
diriku yang sembuyi dari kenyataan

terserah … kamu mau cara apa
ini diriku apa adanya
tak perlu ku sembunyikan
karena kemenangan milik kebenaran

saat dunia menertawaiku
mereka mengajakku
mereka mencabik-cabik hatiku
aku lari
lari meninggalkan kenyataan
bersembunyi bersama bayangan

tapi ingat, wahai kawan
karena aku masih punya impian
yang entah kapan
akanku ledakan

16-07-02

Purnomo Setiawan

Di sinilah sayap izroil berlabuh
dalam pelukan desah pilu
untuk berbintang kenangan
oh… kubungkus kafan

13-09-02

Purnomo Setiawan

tolong….tolong…tolong…
dari bala tentara kota
hingga celah kelenggangan desa
semua memekik, tolong…!

kumpulan-kumpulan demo dimana-mana
ratusan peluru berdesing di mana-mana
danau-danau darah menggenang dimana-mana
tawa dan tangis sahut menyahut di mana-mana
di Indonesia

mereka menyulap surga jadi neraka
di dalam bumi persada
sesungguhnya…

Purnomo Setiawan

kalau saja kutemukan kata terindah
pasti sudah kusematkan
pada setiap kalimat
yang kucintai hanya untukmu
namun sayang … beribu sayang
yang kujumpa hanya kata-kata cela
yang kurasa masih kurang pantas
walau hanya penghias kamar kecilku

kalau sajaku punya lebih dari cinta
pasti sudah ku semai
di setiap sisi hatimu
namun sayang…sekali lagi sayang
memang Cuma cinta yang kupunya
Cuma cinta yang Cuma-Cuma
dan bukan harta!

kalaupun kau tak mau
ya…sudah

24-07-02

Purnomo Setiawan

hitam dan putih warna manusia
hitam dan putih hati manusia
hitam dan putih manusia

hitam manusia
ketiak hatinya hitam
jiwanya hitam
matanya hitam
hidupnya di atas hitam

putih manusia
ketika hatinya putih
jiwanya putih
matanya putih
hitamnya putih diatas putih

tapi aku manusia hitam putih, putih hitam
kulitku putih
berbaju putih
berraga putih
tapi…
hatiku hitam
berdarah hitam
berjiwa hitam
hidupku hitam di atas putih!!

Purnomo Setiawan

Purnomo Setiawan

sebut mereka Negara kita
berdemokrasi pancasila
nyatanya hanya ada
tanah-tanah berlinang darah
dan kemarakan menjadi sampah
sebut mereka Negara kita berdaulat
bertopang tiang keadilan kuat

nyatanya hanya berisi lalat-lalat

Purnomo Setiawan

silahkan beli… ayo beli
selagi mentari masih bermimpi
dan ayam jago sakit gigi

hanya ada di sini
di pasar Indonesia
semua keperluan tersedia
ada penjual harga diri
yang seharga sekecap nasi
ada juga penjaja keperawanan
hanya dengan segepak ribuan, nafsu terpuaskan
atau belilah ini, sekotak kosmetik kejujuran
yang bisa menambal belang kebohongan
ada juga topeng-topeng kemunafikan
pasti tidak mencurigakan
juga ada barang istimewa, sandal undang-undang
bisa dipakai untuk memeras orang
kalau anda lapar
ada daging manusia bakar dan darah segar

silahkan beli…ayo beli..!
selagi mentari masih bermimpi
dan ayam jago sakit gigi
lalu neraka riang menanti

23-07-02

Purnomo Setiawan

maafkan aku rembulan
karena aku malarutkanmu
pada sajakku yang abstrak semrawutan
dengan harapan jadi lintang di malam-malammu
walau aku tahu sajakku tak seindah mereka
yang melukis ranum rupamu
lembut jurai sinarmu

dengan begitu sempurna
pada setiap goresan-goresan kalamnya
namun kulihat malam ini
engkau bersedu sedan sendiri
lantaran belaianmu tak mampu menggapai bumi
sebab telah terdahului
oleh gemerlap lampu-lampu mercury
dan lorong kumuh tak butuh pelitamu lagi
lantaran melodimu tak mamou merasuk telinga hati
kami, umat yang lupa diri
atau memang kami tak punya hati
sebab hati kami telah tenggelam
pada kemolekan kupu-kupu malam
pada jaring maksiat yang tersulam
pada tipuan jurang-jurang jahanam
pada kegelapan yang semakin kelam
maafkan aku rembulan
karena tak bisa lagi
mengembalakan malammu dengan dzikir dan alunan al-quran
atau dengan tawa-tiwi bocah menembang padang hati
atau juga dengan taubat-taubatku kepada tuhan
karena aku lupa apa itu tuhan?
sekali lagi maafkan aku rembulan
walau sedikit hanya ini yang bisa kuberikan
tetaplah tebarkan senyummu
karena aku masih berdahaga atas manis senyummu
karena masih ada langit di atas langit
karena…
-- bulan tertutup awan --

23-07-02

Purnomo Setiawan

Pintu gerbang
pintu gerbang itu
yang memisahkan aku dan duniaku
jauh di seberang
menelantarkan aku sendiri mati di telan sapi
kalaupun hidup memakan hati

pintu gerbang
pintu gerbang itu yang telah menawan
sebongkah hatiku tentang negri di awan
yang jadi bunga impian
tuk dapat lagi bersatu badan

biarlah telapak kakiku
sejenak menyapa debu-debu
di seberang gerbang itu
atau biarkanlah jiwaku
mengecup sayap-sayap kebebasan
tuk membayar lunas semua kerinduan
yang bertumpu tersimpan, tersimpan, tersimpan

pintu gerbang
pintu gerbang itu yang memberikan aku
sebuah kehidupan
nafas-nafas harapan baru
tapi sayang aku terbelenggu

24-07-2002

Purnomo Setiawan

Cinta + rindu + duka: cinta x masalah + senyum + cium + gelora – asmara x senang x sedih: perih + suka – benci + belay-belai lembut + kosakata indah – dusta – bohong x jatuh (cinta): putus (cinta) + sabar + tulus + ikhlas – siksa + sekuntum coklat + sekotak mawar + bualan-bualan + rayuan rayuan – kepalsuan + cinta monyet + cinta-cinta + sayang-sayangan – omong kosongan – matrealisme x sex = #@??!! "(><)?#@= cinta = …. fana

Purnomo Setiawan

langit bersabda
di atas ubun-ubun manusia
dengan sejuta amanat
yang ditiupkan di pundaknya
"jadilah pemimpin yang siap dipimpin
-- syetan cekikikan—

15-09-02

Purnomo Setiawan

Mentari pagi terik bersinar menyengat
Di bawah langit biru pucat

Terhimpit gedung-gedung tinggi mencuat

Bangun pagi dingin menggigil
Di atas kardusku yang dekil
Tubuhku kurus dimakan zaman
Perut kosong keroncongan

Tak ada lagi sarapan pagi
Walau hanya secangkir kopi
Pohon-pohon menjadi gedung-gedung tinggi
Hutan dan sawah jadi pabrik industri

Hingga tak ada singkong untuk dimakan
Atau mata air untuk diminum
Semuanya membeton membesi
Tak ada lagi yang bisa dimakan
Akupun makan angin

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Kedinginan di bawah kolong jembatan
Diteror malam gelap mencekam
Dililit kelaparan
Tak ada kasih sayang

Sebagian lagi…
Masih syukur berada di tempat empuk
Meringkuk di atas kasur usang lapuk
Sambil mengecap nasi basi
Sia-sisa tadi pagi

Sebagian yang lain..
Duduk santai sambil lihat televise
Atau menyantap makanan lezat penuh gizi
Atau juga tidur berkemul tebal kulit biri-biri
Dan dihormati karena derajatnya yang tinggi

Sebagian sisanya
Sedang di tuggu oleh liang kubur
Atau sudah hancur melebur
Menjadi satu dengan tanah dan Lumpur
Entah dari golongan susah atau makmur
Semua tersungkur

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Semilir angina dingin menggigit tulang
Ayam jantan berkokok nyaring
Jangkrik kecil mengerik riang
Tetesan embun menggema dendang

Alunan adzan mengalir syahdu
Meresap pada relung-relung kalbu
Mengajak muslim dan muslimat untuk berwudu'
Segera melaksanakan shalat 5 waktu
Lalu membuka lembaran hidup baru

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Tanah adalah asal nenek moyangmu
Tanah adalah asal ibumu
Tanah adalah tumpah darahmu
Tanah adalah taman surgamu
Dan tanah adalah jurang nerakamu
Maka jangan rusak tanahmu

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Rembulan…, itu ibuku!
Yang membelai rambutku dengan sinarnya
Ditelan malam gelap gulita

Mentari, ... itu ayahku!
Walau keras ia memenuhi pangan, sandang
Dari buah pophon rindang

Tanah…, itu saudaraku!
Di mana kami selalu bersama
Bercengkrama dengan mesra

Keluarga abadi
Diatapi langit suci
Selalu sekata sehati
Tak ada yang menghalangi

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Angkara murka + 1/2 bosan + benci +
Iri dengki + 1 sendok makan kedustaan +
Kenistaan panggang + segengam setan +
Bisikan Iblis + sari neraka =
***
Ahgrh… ?

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Hamparan langit padang beludru
Ditaburi bintang-bintang seribu
Rembulan emas menjadi Saturday sulaman angina siur mendayu

Kenakanlah dunia!
Mahkota tiada tara
-bahagialah-
walau sedang dirundung duka

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Selembar kertas terlahir dari tangan-tangan trampil
Terbuat dari kulit kayu pohon rindang
Tuk diisi tinta kasih sayang

Selembar kertas berisi tulisan cinta
Buat kekasih di seberang sana
Membumbung tertiup angina asmara
Bersemilir aroma harum surga

Si kertas menangins tak berdaya
Terukir di wajahnya angkara murka
Rangkaian kata-kata amarah
Oleh pena-pena neraka

Sre…k! tamat riwayat si kertas
Melayang bagai kaps
Melebur jadi abu
Di atas tanah yang membatu
Rumput-rumput kering saksi bisu
Rmbulan pun mati membeku

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Aku penduduk negri bohong-bohongan
Pemimpinnya jago dalam hal kebohongan
Ulamanya hanya tong kosongan
Hakim-hakimnya saling membohongi
Rakyatnya bekerja bohong setiap hari
Makanan khasnya bohong goring
Pakaian adatnya kebohongan
Semuanya pembohong

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

(senyum membawa korban)

tebaran senyummu, bersama kepolosan
gigi putih mengkilap, kau sikat dengan odol-odol kebohongan
nafas seharum aroma surga
kau caci dengan sari-sari mawar marah

tetapi tidak!
Sekali lagi tidak
Gigi-gigimu adalah taring-taring serigala
Yang siap dilumuri darah ummat tak berdaya

Janjimu habis ditinggalkan
Tak semanis yang kau sampaikan
Kau sangat busuk
Hinga lalat pun enggan menjenguk

Genangan darah telah melaut
Tulang-tulangnya telah menggunung
Kelaparan, sengsara, tersiksa merajalela
Kau anggap panggung sandiwara
Kau hanya tersenyum
Tersenyum lalu tersenyum
Tak ada rasa sedih
Neraka pun tersenyum menanti

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Melaju bus kukendarai
Melesat diantara rumput yang bergoyang
Setengah mengantuk kududuk sendiri
Disunyinya malam yang petang

Perlahan-lahan kapal feri bergoyang
Dalam irama ombak laut melenggang
Aku terlena dalam buainya
Antara Surabaya dan madura

Dari jendela aku melihat
Padi-padi menguning padat
Pohon bakau tumbuh merapat
Warung-warung santai beraroma lezat
Dalam bayangan berkelebat

Jauh di lubuk hati telah terpatri
Jihad fi sabilillah yang aku cari
Di pesantren yang islami, tarbawi, dan ma'hadi
Al-Amien Prenduan yang aku nanti

Al-Amien, 2002

Purnomo Setiawan

Selamat tinggal segala yang dekat
Semua kan tetap kuingat
Di relung hati yang terpahat
Membakarkan aku sebuah semangat

Biarkanlah kepakan-kepakan merpati melaju
Membawa berita rasa rindu
Walau cobaan datang membelenggu
Tak akan putus perjalananku

Kerikil-kerikil jalanan saksi bisu
Ke mana perginya langkah kakiku
Dedaunan kan tetap lagu
Bersama kicau burung merdu
Mengalirkan irama hati yang syahdu

Al-Amien, 2002

M. Hasan Sanjuri

Di malam yang suram, embun menetes
kulihat ranting-ranting lembab
tak ada nyanyian
udara membisu
ada bulan terdiam dan cuacapun beku

di sebuah gang sempit tak bernama
di bawah lampu yang tak lagi terang cahayanya
perempuan tiba dengan wajah yang sia-sia
berusaha menyulam hidupnya di udara
sambil terbungkuk ia tersedu
terbayang cucunya yang akan lahir
dari rahim seorang janda tanpa lakinya

butir-butir embun membasahi luka
seperti sepotong kembang mekar di sudut jendela terbuka

dia sebut namaku dan anaknya
sebagai penzina bermahkota bianglala

“biarkan benih itu lahir tanpa ayah”
tuturnya di balik remang cahaya
“karena ia anak dunia”

(sesekali ia mengorek bisulnya
yang sekarat dan menerjemahkan
keputusasaan berkepanjangan)

di ranjang menanti selembar nafsu
dari nafas yang ditiup muda di jalanan
sementara benih itu
memukul-mukul dinding rahim ibunya

“biarkan benih itu lahir tanpa ayah”
teriaknya sekali lagi
bagai sepasang sayap merpati
mengipas-ngipas birahi

(suatu saat di sorga nanti anak itu akan bertanya pada Tuhannya)
“maukah Kau jadi ayahku”

2004

*Harlot: Pelacur

Postingan Lebih Baru Beranda