angin masih belia, surat-suratmu
tak sempat kubaca dalam perih keringat
perihal lagu kemarau meninabobokan nafas rerumputan
yang tumbuh liar sepanjang jidatmu
matamu semakin purba
ketika rerumputan itu berubah duri waktu
sesekali melukai kulitmu yang beludru
udara tropis meranggas di pucuk-pucuk tembakau
rumah-rumah kehilangan senyum. wajahmu semakin lengang
seperti duka anak tetangga yang ditinggal ibunya
tiba-tiba aku teringat sepenggal ceritamu
tentang seorang pengemis tua yang selalu
menggedor-gedor pintu kemarau usiaku
surat-suratmu masih tersimpan rapi
di almari hatiku. mataku terlalu asing menyiangi
debu jalanan yang seringkali menikam jantung matahari
hingga tembaga. seperti hari-hari kemarin, kulipat
pesan ramah reranting cemara menyapa angin
dalam nafas panjang doa-doa sembahyang
kelak akan kulukis ranum senyummu
mewarnai perjalanan sejarah angin yang gemetar
berapa mil lagi harus kucicipi manis elektron pelangi?
abad-abad terus berlari dalam alfa tawamu
di beranda ini kita perlu berhenti sejenak
mengunyah hari-hari yang berbatu
lantas menanam benih cinta bumi pada matahari
biarkan surat-suratmu memfosil
menjadi jejak musim dalam beranda sunyi sajak-sajakku
April, 2006
Label: Moh. Hamzah Arsa, Puisi
yang tersisa hanya sebuah akar
serupa jalan-jalan menikung di keluasan tubuhmu
satu mengalir ke arah jantungmu, lainnya melingkar di otakmu
tajam matahari tak habis membakar kesabaranmu
mengunyah bebatuan dan tanah berapi
ketika hujan menyentuh bibir bumi
akarlah yang terlebih dahulu mengekalkannya
lantas memintalnya jadi udara
mendesir menelisik pintu-pintu tanah
beribu benih yang kautanam di ladang ini
tumbuh menguncup jadi bintang-gebintang
April, 2006
Label: Moh. Hamzah Arsa, Puisi
setiap kupetik bunga kamboja
kumbang di putik rintik gerimis
mencairkan batang matahari
di dada perawan larva kegelisahan menjelma
peta luka kemarau; hari-hari yang berbatu
di pekarangan hatimu yang basah
bunga kamboja tumbuh dewasa
kelak kupu-kupu menetek madu di putingnya
di laut, seekor camar menggaris pelangi
sel-sel angin masih lindap di jantungmu
bunga kamboja ini tetaplah ibu
tegar kelasi di tengah rimbun badai
sementara tanah ini kini berdarah
ketika kematian tak lagi baja
April, 2006
Label: Moh. Hamzah Arsa, Puisi
senjalah yang mengalirkan sungai kecil
di dadamu. sebuah perahu putih kautambatkan
di muara. inilah kendaraan terakhir buat kita hijrah
menjelajahi urat angin yang beranak-pinak
di keluasan kening para nelayan
anak-anak kecil tanpa beban
menyaksikan wajahnya ditikam ikan
pelangi masih setia mengisahkan betapa getir
burung-burung camar memintal-mintal ombak
dan mematuk-matuk paruh ikan. luka berdarah-darah
seperti ketika khidir menenggelamkan gugus mimpi anak-anak
aku pun bergegas menyelami lautan: mutiara ini masih saja cahaya
pada senja yang terakhir, garis-garis takdir
begitu jelas terurai di bilangan abad-abad zikir
kita gagal mengunyahnya dengan geletar badai
doalah mata hati, tajam membelah dada matahari
dalam gugur bunga zaitun
Label: Moh. Hamzah Arsa, Puisi
kalender ini begitu ramah mengusap
letih wajah ibu: sunyi kasih sayang
bertahun-tahun meredam teror
aku memahaminya samudera
tempat mencuci luka
dengan jemari gerimis, kubuka lembaran
kalender ini. tak ada riak. sebab hari-hari
tak lagi bunyi, melainkan lembut melati
tumbuh mengakar di urat nadi
badai berkecamuk di dinding rumah. angka-angka kalender
pecah berhamburan. satu persatu kupungut. aku terjebak
di dereten angka-angka merah. aku tak bisa pulang
senyum ibu meneteskan salju
April, 2006
Label: Moh. Hamzah Arsa, Puisi
Lama tak sekolah, ensiklopedia tak pernah kubaca
Kuharap wali kelasku tak tahu
Karena beliau tentu marah
Lalu menjewer telingaku hingga merah
Lama tak sekolah, aku tergoda tuk kembali membaca
Entah mengapa ku begitu rindukan buku
Ada syahdu rindu juga haru-biru
Ada malu juga sesal masa lalu
Karena di tiap tahun ajaran baru
kami selalu mencipta kekurangajaran baru
Aku rindu guru Bahasa Inggrisku
Bajunya merah, senyumnya manis tak pernah marah
Ku masih berhutang senyum manis padanya
Karena ku tak pandai membaca apalagi bicara
Di depannya ku selalu kehabisan kata.
Aku rindu guru Bahasa Indonesiaku
Dia berjanji pinjamiku sebuah buku
Lalu padanya kujanjikan karya.
Aku masih penasaran nilai ujianku
Karena waktu itu selasa, ketika tahun baru tepatnya
Hingga aku lupa dan tak belajar karenanya.
Bila ku teringat dia ku kan tertawa
Karena ketika terakhir kali bicara
Bukannya membahas tata bahasa
Dia malah ajariku do'a puasa
Tapi ku paling rindu pada guru IPA
Karena cantiknya sepasti Fisika
Tapi sealami Biologi tanpa bahan Kimia
Ah sudahlah, nilai IPA-ku kan selalu 3
Hingga tiap kali bertemu ku merasa sungkan
Terlebih bila PR darinya belum kukerjakan
Lama tak sekolah, ku baru tersadar rupanya:
Sekolah tak memberiku cukup bekal hadapi dunia.
01 01 2008
Label: Moh. Khuzaie, Puisi
Purnomo Setiawan
Waktu kau pulang
Senja menunggumu di tengah ranjang
Rambutnya yang pirang
Matanya yang nyalang
Membuatmu ingin segera meradang menerjang
Walau kau bukanlah binatang jalang
Tetapi senja terlalu sayang kalau hanya dipandang
Sebisa mungkin kau ingin menghirupnya sampai kenyang
Duaempat 01 04
Label: Puisi, Purnomo Setiawan
Di sebuah sudut mushola, senja melepas baju dinasnya. Digelarnya sajadah, dititipkan warna dan luka pada siluet pohon-pohon kelapa. Januari pasti datang, mengguyur do’a di ladang-ladang. Hujan sejenak numpang mandi, lalu bergegas menemani santri-santri mengaji. Selembar sarung, sebut saja: sepenggal kenangan, berkibar-kibar di malam purnama yang bercadar. Di bawahnya, seorang penyair: tempat duka dan lara mandi dan bersemedi, tenggelam dalam seember kopi merayu kata-kata yang ngambek minta cerai.
tak ada mimpi malam ini. samudra malam diarungi dengan berlembar-lembar simphoni ayat-ayat suci.
Hai penyair, masihkah tasbih itu selalu berputar teratur di tanganmu?
Ataukah sudah jadi pajangan pelengkap seragammu?
Masih suka mendengarkan dzikir-dzikir jangkrik
Tawa pecah menabrak dinding-dinding bilik
Sambil menunggu gurihnya lauk dan matangnya sayur
teman kita di waktu sahur
Dualapan 0805
Purnomo Setiawan
Label: Puisi, Purnomo Setiawan
Tubuhnya kurus kering
rusuknya piano yang kalau malam selalu berdenting
tapi seenaknya saja ia telanjang dada menghadap barat
bagaikan seorang juru selamat
yang bisa menghalau kiamat.
Sebenarnya bukan karena perkasa ia tak pakai baju
tapi nasib memaksanya untuk begitu
sudah tak ada baju lagi
yang bisa digadaikan untuk ditukar nasi
Ia hanya orang miskin
yang untuk makan tiga hari ke depan
rasanya tak mungkin.
Duaempat 01 04
Purnomo Setiawan
Label: Puisi, Purnomo Setiawan